aku melihat ada banyak email masuk dan salah satu sender-nya sangat familiar : itu email dari ibuku
Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji miliku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa Dia menitipkan padaku ???
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta,ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua "derita" adalah hukum bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku
Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"....
(W.S. Rendra)
mataku panas, seolah air mata akan mengalir sederas-derasnya, seolah email itu menghujam, menusuk logikaku hingga mati. aku merasakan dosa yang teramat sangat.
apa kau yang membaca ini merasakan hal yang sama denganku?
rutinitas seolah menelanku bulat-bulat untuk menghalangiku berpikir jernih.
ampuni aku Allah, ampuni kami.
terima kasih Ibu :) terima kasih atas email pagi itu